mencairnya es di kutub disinyalir hasil dari global warming
DownloadPrediksi HK Malam Ini 4 Juni 2021 file (7.44 MB) with just follow This provide cant be coupled with almost every other offer you. Electronic information and providers might only be available to customers located in the U.S. and they are topic for the terms and conditions of Amazon Electronic Providers LLC. Give restricted to just one per client and account. Amazon reserves the proper
Jangananggap karena Indonesia jauh dari kawasan gunung es, maka tidak akan terkena dampak dari mencairnya lapisan es di Kutub. Jangan anggap karena Indonesia jauh dari kawasan gunung es, maka tidak akan terkena dampak dari mencairnya lapisan es di Kutub. Kamis, 14 Oktober 2021; Cari. Network. Tribunnews.com;
Ketikasuhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi
Mencairnyaes di kutub dan berkurangnya air yang menguap ke atmosfir menyebabkan naiknya permukaan laut. Kota-kota dan kota-kota pesisir yang tidak jauh di dekat pantai timur AS, kepulauan pasifik, Teluk Meksiko hanyalah beberapa wilayah di mana kerusakan banjir mulai menenggelamkan beberapa arealnya. Pemanasan global dapat mempengaruhi
Mencairnyaes di kutub disinyalir hasil dari global warming yang disebabkan gas buang/emisi industri. Hubungan sebab akibat di atas adalah keterkaitan - 1646 RaisyaDewitaSS RaisyaDewitaSS
Site De Rencontre Pour Chretiens Evangeliques. Thinkstock Bongkahan es mencair di Ilulissat Icefjord, Greeland. – Sekelompok peneliti Inggris menemukan fakta bahwa sekitar 28 triliun ton es telah menghilang dari permukaan bumi sejak 1994. Dilansir dari Bussiness Insider, para ilmuwan dari Leeds University, Edinburgh University dan University College London, menganalisis survei satelit dari gletser, gunung, dan lapisan es antara 1994 hingga 2017 untuk mengetahui dampak dari pemanasan global. Baca Juga Studi Setengah dari Laut Dunia Telah Terdampak Perubahan Iklim Studi yang dipublikasikan pada jurnal Cryosphere Discussions ini menggambarkan hilangnya es dalam jumlah “mengejutkan”. Peneliti mengatakan, mencairnya gletser dan lapisan es dapat menyebabkan permukaan laut naik secara dramatis-kemungkinan mencapai satu meter pada akhir abad ini. “Setiap sentimeter kenaikan permukaan laut, berpotensi mengusir’ satu juta orang yang tinggal di wilayah yang rendah,” kata Profesor Andy Shepherd, direktur Centre for Polar Observation and Modelling Leeds University. Pencairan es yang dramatis tersebut juga memiliki beberapa konsekuensi, termasuk gangguan pada biologis perairan Arktika dan Antartika. Juga mengurangi kemampuan Bumi untuk memantulkan radiasi sinar matahari kembali ke luar angkasa. Penemuan ini sesuai dengan skenario kasus terburuk yang diprediksi oleh Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC. “Sebelumnya, peneliti hanya mempelajari area individu—misalnya di Greenland atau Antarktika—di mana es–es mencair. Namun, ini pertama kalinya ada studi yang melihat hilangnya es dari seluruh dunia. Apa yang kami temukan sangat mengejutkan,” papar Shepherd. Baca Juga Wolverine Terlihat Kembali Setelah Menghilang Selama 100 Tahun Penemuan ini dipublikasikan seminggu setelah para ilmuwan dari Ohio State University menemukan fakta bahwa lapisan es di Greenland yang telah mencair, tidak bisa kembali pulih. Michalea King, pemimpin studi dari Ohio State University mengatakan bahwa es telah hilang dalam jumlah besar, beberapa tahun terakhir. Ini menghasilkan perubahan pada bidang gravitasi Greenland. Greenland kehilangan sekitar 280 miliar metrik ton es setiap tahunnya. Es yang mencair tersebut, mengalir ke laut setiap tahunnya dan menjadi penyumbang terbesar kenaikan permukaan laut global. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
Mencairnya es di kutub disinyalir hasil dari global warming warming yang disebabkan gas buang emisi industri hubungan sebab-akibat diatas adalah keterkaitan dengan aspek keterkaitan dengan aspek kalo salah.
Ilustrasi pemanasan global. Foto PixabayPemanasan global menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup di bumi. Fenomena yang juga disebut global warming ini adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem akibat peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Peningatan suhu ini disebabkan oleh bertambahnya kadar gas rumah kaca yakni karbondioksida CO2, nitrogen dioksida N2O, metana CH4, dan freon SF6, HFC dan PFC. Gas-gas ini memang secara alamiah dihasilkan oleh aktivitas makhluk hidup sehari-hari. Namun gas-gas ini meningkat secara drastis karena semakin majunya industri. Kondisi ini tentu berdampak pada kehidupan di bumi. Apa saja dampak pemanasan global? Mencairnya Lapisan Es di Kutub Utara dan SelatanSalju di Antartika yang meleleh akibat pemanasan global. Foto Johan OrdonezMeningkatnya suhu menyebabkan lapisan es di kutub meleleh. Para ilmuwan di Inggris menyatakan bahwa sebanyak 28 triliun ton lapisan es di bumi telah hilang dalam 30 tahun terakhir. Jika ini terus terjadi maka permukaan air laut akan naik secara global. Masyarakat yang hidup di pesisir terancam oleh banjir rob, sedangkan pulau-pulau kecil bisa tenggelam. KekeringanNaiknya suhu menyebabkan peningkatan penguapan air. Penguapan skala besar inilah yang menjadi penyebab utama kekeringan di banyak tempat. Akibat penguapan, banyak sumber mata air yang kering. Kekeringan juga menyebabkan meningkatnya kebakaran hutan. Rusaknya Terumbu KarangGlobal warming akan membuat suhu air laut meningkat. Ini membuat terumbu karang mengalami pemutihan dan lama-lama menjadi rusak. Rusaknya terumbu karang akan membuat ekosistem laut menjadi tidak seimbang. Punahnya Berbagai Jenis Flora dan FaunaIlustrasi beruang kutub. Foto ShutterstockLingkungan yang berubah akibat pemanasan global tentu memengaruhi eksistensi hewan dan tumbuhan. Fauna yang hidup di kutub seperti penguin dan beruang kutub terancam kehilangan habitatnya. Kenaikan suhu global juga menyebabkan terganggunya siklus air dan kelembaban udara yang berdampak pada pertumbuhan tanaman. Menurut sebuah penelitian dari Universitas Arizona, satu dari tiga spesies tumbuhan dan hewan akan punah pada 2070. KelaparanPerubahan iklim menyebabkan musim sulit diprediksi. Akibatnya musim tanam menjadi tidak menentu. Ini tentu berdampak pada produksi pangan penduduk. Melansir dari situs Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Indonesia dihantam anomali iklim berupa el nino parah pada 1998. Saat itu Sumatera bagian selatan, Kalimantan, Jawa, dan Indonesia timur mengalami kekeringan di luar musim kemarau. Kekeringan tersebut menyebabkan penurunan produksi dan kegagalan panen tanaman pangan seperti padi dan palawija, serta krisis air bersih.
- Sekitar 99% air tawar yang ada di Bumi berada di atas Greenland dan Antartika yang membeku. Namun kini, mereka mulai mencair ke laut dalam jumlah banyak. Normalnya, perlu ratusan hingga ribuan tahun bagi semua es yang ada di Bumi untuk mencair, tapi bagaimana jika ada suatu bencana yang membuatnya meleleh dalam waktu semalam?Permukaan laut akan naik setinggi 66 meter. Kota-kota pesisir seperti New York, Shanghai, dan London akan tenggelam dalam banjir besar-memaksa 40% populasi dunia untuk meninggalkan rumah mereka. Saat kekacauan terjadi di daratan, sesuatu yang menyeramkan juga berlangsung di bawah laut. Semua air asin akan menyusup dan mencemari cadangan air tawar di daratan. Artinya, cadangan air minum, irigasi, hingga sistem pembangkit listrik akan rusak. Baca Juga Sesuai Namanya, Zona Kematian di Everest Ini Kerap Memakan Korban Yang tak kalah penting, es di Greenland dan Antartika terbuat dari air tawar, jadi ketika mereka mencair, ada sekitar 69% cadangan air di dunia yang langsung menuju laut. Ini akan mendatangkan malapetaka pada arus laut dan pola cuaca kita. Pada Gulf Stream, misalnya. Ia merupakan arus laut kuat yang membawa udara hangat ke Eropa Utara dan bergantung pada air asin yang tebal dari Kutub Utara untuk berfungsi. Namun, jika banjir air tawar terjadi, itu akan mencairkan, melemahkan atau bahkan menghentikan arusnya sama sekali. Kemudian, tanpa udara hangat tersebut, suhu di Eropa Utara akan menurun drastis dan menciptakan zaman es mini. Beralih dari Greenland dan Antartika, apa yang akan terjadi dengan 1% es yang bukan bagian dari mereka? Gletser di Himalaya mungkin akan menimbulkan ancaman terbesar karena apa yang terperangkap di dalamnya senyawa beracun dichlorodiphenyltrichloroethane atau DDT. Ketika mencair, gletser akan melepaskan senyawa tersebut ke sungai, danau, cadangan air tanah dan kemudian meracuninya. Selain gletser, 1% es tadi juga meliputi permafrost yang berada di bawah tanah-kebanyakan di tundra Arktika. Mirip dengan gletser Himalaya, salah satu masalah yang muncul dengan pencairan permafrost adalah keracunan merkuri. Selain itu, bahan organik dalam permafrost adalah makanan lezat untuk mikroorganisme. Setelah mencernanya, mereka akan mengeluarkan gas rumah kaca paling ampuh, karbondioksida dan metana. Menurut para ilmuwan, ini akan menggandakan jumlah gas rumah kaca yang ada saat ini di atmosfer-menyebabkan kenaikan suhu global 3,5 derajat Celsius. Tidak cukup hanya itu, uap dari suhu yang lebih tinggi akan menyebabkan kekeringan massal dan iklim seperti gurun. Semua uap air ekstra di atmosfer juga akan memicu badai dan banjir yang lebih sering dan kuat. Es dunia mencair dalam satu malam memang terdengar mustahil, tapi menurut peneliti, jika kita tidak melakukan hal apa pun untuk mencegahnya dan suhu meningkat hingga 1 derajat Celsius, maka efek perubahan iklim yang sudah kita lihat saat ini mungkin benar-benar tidak bisa dikendalikan. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
- Ilmuwan, negarawan dan masyarakat Islandia baru-baru ini memasang plakat peringatan di gletser Okjökull yang kehilangan lapisan es dan statusnya sebagai gletser akibat pemanasan global oleh aktivitas manusia. Dalam monumen tersebut tertulis peringatan bahwa dalam 200 tahun mendatang, umat manusia akan menyaksikan gletser-gletser lainnya mengikuti jejak Okjökull. NASA Mencairnya es di gletser Thwaites bertanggung jawab atas kenaikan permukaan laut dunia. Sebuah plakat diletakkan sebagai peringatan atas hilangnya gletser Okjökull glacier karena perubahan iklim. Rice University, CC BY-SA Indonesia juga memiliki gletser seperti Islandia, yaitu di Pegunungan Jayawijaya. Tidak kurang dari 84,9% dari massa es di Pegunungan Jayawijaya telah mencair sejak tahun 1988, sehingga warisan alam ini pun diprediksi akan hilang dalam dekade mendatang. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, dampak perubahan iklim oleh emisi gas rumah kaca tidak hanya menyentuh gletser yang hanya ada satu-satunya di Indonesia ini, tetapi juga laut yang luasnya meliputi 70% dari wilayah Indonesia dan kedalamannya melebihi ketinggian Puncak Jaya. Baru-baru ini panel ilmuwan PBB untuk isu perubahan iklim atau IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change merilis Special Report on Ocean and Cryosphere in a Changing_Climate SROCC, kajian terkait dengan kondisi laut dan kriosfer gletser, lapisan es, dsb di dunia. Saat ini saya terlibat dalam penulisan laporan iklim PBB mendatang atau Sixth Asessment Report untuk aspek kelautan, kriosfer dan kenaikan permukaan laut. Berikut penjelasan saya terkait hasil-hasil kajian SROCC yang perlu menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Laut semakin panas, semakin asam, dan semakin berkurang kadar oksigennya Sejumlah 104 pakar iklim dari 36 negara mengkaji status dan proyeksi dampak perubahan iklim terhadap laut dan kriosfer serta implikasinya bagi ekosistem dan manusia berdasarkan publikasi ilmiah. Hasil penelitian para ahli iklim mengungkap bahwa mencairnya lapisan es yang bermuara pada naiknya permukaan laut secara global merupakan satu dari beberapa efek domino dari perubahan iklim. Laporan IPCC menunjukkan, secara persisten, perubahan iklim menyebabkan laut semakin panas, semakin asam dan kekurangan kadar oksigen. Kenaikan permukaan laut yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil tidak hanya terus terjadi, namun lajunya juga semakin cepat. Fenomena iklim esktrem seperti gelombang panas laut marine heatwave akan semakin sering terjadi dengan intensitas dan durasi yang meningkat terutama di daerah tropis. Begitu pula dengan fenomena ekstrem El Niño-Osilasi Selatan yang membawa bencana kekeringan dan banjir di Indonesia. Dampak bagi Indonesia Sumber daya laut yang tergeser, tertekan dan berkurang Laporan SROCC mengisyaratkan beberapa catatan penting terkait dampak perubahan iklim bagi Indonesia sebagai negara kepulauan di kawasan tropis. Pertama, keanekaragaman hayati laut menjadi taruhan. Perubahan iklim turut mengubah ritme musiman dan distribusi spesies laut. Sejak tahun 1950an, secara global, spesies laut yang biasa hidup di kedalaman kurang dari 200 meter berpindah menjauhi kawasan tropis sejauh kurang lebih 52 kilometer per dekade. Hal serupa juga terjadi pada spesies-spesies laut dalam. Mengingat beragamnya spesies laut di Indonesia, maka perlu ada penelitian lebih lanjut tentang ritme musiman dan distribusi tersebut. Kedua, laporan SROCC menekankan bahwa terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling sensitif dibandingkan dengan ekosistem lainnya seperti padang lamun dan mangrove. Kondisi ini berpengaruh bagi Indonesia yang memiliki padang lamun terluas di Asia Tenggara dan 23% mangrove di dunia. Menurunnya jasa ekosistem lamun dan mangrove dapat mengurangi peran ekosistem laut pesisir dalam menyerap emisi karbon. Ketiga, pemanasan laut dapat menambah beban sektor perikanan dalam menghadapi isu overfishing dengan menekan potensi tangkapan ikan maksimal hingga sekitar 30% di perairan Indonesia apabila emisi gas rumah kaca dibiarkan meningkat sepanjang abad 21. Kombinasi antara pemanasan dan pengasaman laut juga berdampak negatif pada stok ikan dan binatang bercangkang, seperti kerang mutiara dan lobster. Tidak semua salah perubahan pada iklim Untuk dapat mengambil langkah adaptasi yang efektif, kita perlu memahami berbagai penyebab degradasi lingkungan laut yang tidak selalu disebabkan oleh perubahan iklim. Salah satu contoh klasik adalah kenaikan permukaan laut di Jakarta yang lebih banyak disebabkan oleh penurunan permukaan tanah karena penyedotan air tanah. Contoh lainnya, SROCC membedakan fenomena pengasaman atau penurunan pH air laut antara pengasaman laut ocean acidification dan pengasaman pesisir coastal acidification. Pengasaman laut merujuk kepada penurunan tingkat keasaman air laut akibat reaksi antara gas rumah kaca CO2 dan air laut. Namun, di kawasan perairan Indonesia juga terjadi pengasaman pesisir oleh aktivitas lokal manusia seperti pembuangan limbah, sehingga laju pengasaman air laut lebih tinggi dari tren global. Solusi-solusi lokal seperti penanggulangan limbah yang efektif dan restorasi ekosistem lamun yang mempengaruhi pH air laut secara lokal dapat mengurangi dampak dari pengasaman air laut bagi masyarakat sekitar. SROCC dan negosiasi iklim SROCC menjadi masukan ilmiah penting bagi negosiasi iklim dalam UN Framework Convention on Climate Change Conference COP25 di Chile pada bulan Desember 2019 yang akan mengangkat tema kelautan atau Blue COP’. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki peran penting dalam mengambil langkah yang konkret dan realistis terhadap isu perubahan iklim. Dalam laporan SROCC dipaparkan juga keuntungan yang diraih dari strategi adaptasi perubahan iklim yang ambisius dan efektif, seperti perlindungan terhadap masyarakat pesisir terutama daerah padat populasi atas dampak naiknya permukaan laut, yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Berbeda dengan daratan yang menjadi penyebab dan korban dari perubahan iklim, SROCC memaparkan bahwa laut adalah korban dari perubahan iklim. Kondisi laut yang semakin panas, asam dan kekurangan kadar oksigen memiliki implikasi bagi komitmen Indonesia dalam perlindungan keanekaragaman hayati maupun pemenuhan target Sustainable Development Goals. Hal ini karena menurunnya kemampuan menjaga biodiversitas laut dari berbagai tekanan lingkungan, potensi mitigasi gas rumah kaca dari sektor kelautan, dan pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan. Kajian ilmiah yang tertuang dalam SROCC, Blue COP serta UN Decade of Ocean Science 2021-2030 adalah momentum untuk melakukan langkah-langkah non business-as-usual dan inklusif yang akan diapresiasi oleh generasi mendatang. Penulis Intan Suci Nurhati, Peneliti Iklim & Laut, Indonesian Institute of Sciences LIPI Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
mencairnya es di kutub disinyalir hasil dari global warming